Akhir Sedih Aktor Top Indonesia di Akhir Masanya

AKTOR Roy Marten, tepekur, ketika pada September 1998 di depan media (Gatra, 10/98). Kenangan kepada seniornya, Maroeli Sitompul, mengaduk-aduk perasaannya. Delapan tahun setelah kepergian Maroeli – peraih tiga Piala Citra – Roy tetap tak bisa melupakan memori pahitnya.
Kehidupan keseharian seorang artis tak seperti lakon yang sering mereka mainkan. Banyak yang berujung duka, bukan sebuah ‘happy ending’ melainkan ‘sad ending’.

Kata Roy saat itu, sambil menyeka air matanya yang terus menetes, “Saya sedih karena baru mengetahui kondisi Bang Maroeli sesudah parah. Sewaktu besuk ke rumahnya di Kampung Melayu, saya disuruh menunggu di ruang tamu. Mulanya saya heran, mengapa Bang Maroeli tak mau menemui saya. Setelah saya tanya, istrinya memberitahu bahwa Bang Maroeli tak bisa bangun dari tempat tidurnya.”

Foto Maruli Sitompul

Beberapa hari kemudian, setelah Roy sempat menggenggam tangan Maroeli dengan erat, pemain watak itu berpulang. Senin dini hari di awal Oktober 1990, Maroeli meninggal dunia akibat sakit pernafasan. Tinggallah istri dan ketiga anaknya, yang harus berjuang melanjutkan hidup yang penuh kepahitan itu. Maroeli tak meninggalkan harta melimpah. Hanya 70-an film, yang pernah dibintanginya, sebagai warisan kreatif.

Betapa memilukan akhir kehidupan Maroeli, bintang seangkatan mendiang Kusno Sudjarwadi dan Mien Broto. Dalam salah satu fase perjuangan kariernya, Maroeli terpaksa berpindah profesi menjadi dukun. Itu bukan akting, meski Maroeli bisa bermain bagus sebagai tokoh antagonis ‘Si Mata Malaikat’ dalam “Si Buta dari Gua Hantu” (1971) dan “Gara-Gara Istri Muda” (1978).

“Kalau jadi dukun, anak sakit, saya nggak perlu pusing. Obati sendiri dan tidak perlu dibawa ke dokter,” kata Maroeli suatu ketika. Ternyata, langkah itu dilaksanakannya untuk mempertahankan hidup. Honor artis pada era 1970-an rupanya tak bisa mengenyangkan perut sebuah keluarga.

foto marlia hardi

TRAGEDI Maroeli hanya salah satu sisi kelam panggung ketenaran para artis.
Enam tahun sebelumnya, Juni 1984, keluarga Indonesia dibuat sangat berduka atas kepergian Marlia Hardi. Penyusun naskah dan motor utama sandiwara televisi yang amat disukai penonton itu pergi dengan cara yang tak terbayangkan pemujanya: bunuh diri.
Citra “Keluarga Marlia Hardi” yang harmonis di layar kaca menjadi buyar. Tapi orang segera memaklumi penderitaan Marlia akibat utang yang tak terlunasinya.

SUMBER

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *