Genosida di Pulau Banda 1621: Pembantaian Belanda Paling Sadis Di Nusantara
Jika berbicara Pembantaian Belanda pasti Sering orang bilang pembantaian westerling sadis, padahal kalo di urut ada yang lebih kejam dari pembantain pembantaian itu. Pembantaian orang orang Banda Naira yang di lakukan oleh JP Coen, hampir 13.000 jiwa melayang hanya karena mereka menjual hasil buah pala pada Inggris….dan peristiwa itu dikenal sebagai Pembantaian Banda tahun 1609 ”.
Benteng Nasau adalah saksi bisu dari pembantaian sadis itu….
Benteng Nassau ini didirikan oleh Laksamana Pieterszoon Verhoeven. Ia tiba di Banda Naira pada tanggal 8 April 1609 bersama tiga belas kapal ekspedisi yang diperintahkan de Heeren XVII (dibacanya Heeren Zeventien, yaitu para direktur VOC di Amsterdam) untuk memenangkan pulau-pulau penghasil cengkeh dan pala bagi VOC baik secara perundingan maupun kekerasan. Sebenarnya ada empat belas kapal yang bertolak meninggalkan Belanda. Namun satu kapalnya hilang di lautan dalam perjalanan menuju Maluku.
Ketika Verhoeven tiba di Banda, Inggris di bawah pimpinan Kapten William Keeling telah lebih dulu berada di sana, berdagang dengan rakyat Banda juga pedagang Belanda di Banda Naira. Verhoeven tidak senang akan hal ini. Kapten Keeling kemudian mundur ke Pulau Run dan Pulau Ai. Di sana ia tawarkan perlindungan kepada para pedagang Belanda di kedua pulau tersebut.
Verhoeven berang akan keberadaan Inggris di Kepulauan Banda. Keberangannya bertambah dengan sikap rakyat Banda yang mengelak berunding dengannya. Padatanggal 25 April 1608 Verhoeven turun ke Pulau Naira beserta sekitar 300 orang prajurit untuk membangun Benteng Nassau. Benteng tersebut didirikan di lokasi Portugis pernah membangun benteng batu yang kokoh sekitar seratus tahun sebelumnya. Portugis berkuasa di Kepulauan Banda pada tahun 1512 – 1580.
Melihat pembangunan benteng berjalan pesat, para Orang Kaya Banda mengusulkan perundingan dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 1609. Mereka meminta jaminan sandera untuk perundingan. Orang Kaya ialah gelar untuk pemuka adat atau orang yang disegani di antara rakyat Banda.
Verhoeven menyambut baik usulan para Orang Kaya ini. Ia menunjuk dua orang pedagang bernama Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher sebagai sandera. Verhoeven berangkat ke tempat perundingan bersama dewan kapten, para pedagang, pasukan tentara bersenjata lengkap, dan tawanan-tawanan Inggris untuk dihadiahkan. Sesampainya mereka tempat perundingan mereka tidak menemukan para Orang Kaya. Tempat perundingan itu terletak di bawah sebatang pohon di dekat pantai bagian Timur Pulau Naira,
Verhoeven kemudian mengutus penerjemah bernama Adriaan Ilsevier mencari para Orang Kaya. Di hutan kecil yang sekarang menjadi mesjid Kampung Baru, Ilsevier menemukan para Orang Kaya. Mereka ketakutan melihat pasukan bersenjata yang dibawa Verhoeven. Mereka meminta Verhoeven untuk datang menemui mereka hanya ditemani beberapa orang.
Tanpa curiga Verhoeven menemui para Orang Kaya di tempat yang sekarang disebut Kampung Verhoeven. Ternyata ia dijebak. Verhoeven beserta Opperkoopman atau pedagang senior Jacob van Groenwegen dan 26 orang Belanda lainnya dibunuh. Kejadian ini dikenal dengan nama ‘Pembantaian Banda tahun 1609’. Jan Pieterszoon Coen – juru tulis Verhoeven yang nyaris mengalami nasib sial turut dibantai – menyaksikan kejadian tersebut.
Sepeninggal Verhoeven, Laksamana Simon Janszoon Coen ditunjuk dewan perwira sebagai pemimpin yang baru. Ia lah yang menyelesaikan pembangunan Benteng Nassau.
Di kemudian hari setelah menjadi Gubernur Jenderal, Jan Pieterszoon Coen kembali ke Banda. Ia tiba dari Batavia di Benteng Nassau pada tanggal 27 Februari 1621 dengan tujuan menciptakan monopoli perdagangan pala. Selain pasukan tentara-tentara VOC, JP Coen membawa vrijburger (tentara VOC yang telah habis masa kontrak), orang-orang mardijkers (orang-orang Portugis di Batavia yang dibebaskan setelah mereka menganut Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda), dan musketiers (para relawan). Ia juga membawa orang-orang hukuman dari Pulau Jawa untuk bekerja sebagai pendayung perahu dan tentara bayaran Jepang yang disebut Ronin (samurai yang tidak mempunyai pimpinan lagi).
Operasi penaklukan Banda dimulai 3 Maret 1621. JP Coen dan pasukannya mulai menyerang Banda Besar di pagi hari tanggal 11 Maret 1621. Hanya dalam sehari semalam mereka berhasil menguasai seluruh pulau itu. Desa Selamon – tempat awal Islam masuk ke Banda – dijadikan markas besar mereka di sana. Selain menguasai desa mereka juga menyita balai desa untuk digunakan sebagai kantor Gubernur Banda yang baru yaitu Kapten Martin ‘t Sionck, dan mesjid di sebelah balai untuk penginapan pasukan. Orang Kaya Jareng dari Selamon menolak mesjid digunakan untuk para pasukan Belanda. Ia tidak berkeberatan jika mesjid digunakan oleh Gubernur Sionck. Namun Sionck tidak peduli dengan tanggapan Orang Kaya Jareng tersebut. Ia juga tidak mengizinkan Orang Kaya Jareng dan penduduk desa menggunakan mesjid untuk ibadah yang akan dilaksanakan dua hari kemudian.
Pada malam tanggal 21 April 1621, lampu gantung dalam mesjid terlepas dan jatuh ke lantai. Sionck menimbulkan kepanikan saat membangunkan perwira, pengawal dan para penjaga untuk mencari penyebab jatuhnya lampu. Seorang anak kecil keponakan dari istri Orang Kaya Kalabaha mengatakan bahwa jatuhnya lampu merupakan tanda untuk bersiap-siap menyerang pasukan Belanda. Belanda kemudian menyiksa beberapa Orang Kaya agar mereka mengaku terlibat dalam persekongkolan tersebut. Padahal sebenarnya anak kecil itu cuma asal ngomong doang, aduhh …
JP Coen menangkap para Orang Kaya Banda. Mereka dipaksa mengaku sebagai pemicu kerusuhan. Satu kurungan bambu berbentuk bulat dibangun di luar Benteng Nassau. Delapan Orang Kaya paling berpengaruh digiring masuk ke dalam kurungan. Mereka dituduh bersekongkol untuk membunuh Gubernur Jenderal JP Coen. Enam orang serdadu algojo Jepang kemudian diperintahkan masuk ke dalam kurungan. Dengan pedangnya yang tajam mereka memotong kedelapan Orang Kaya ini menjadi empat bagian. Berikutnya ke-36 Orang Kaya lainnya dipenggal kepala, lalu dipotong-potong badannya. Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Iyyyaakkkkkssssss !!!!!!!!!!!!
Pembantaian 44 Orang Kaya Banda ini terjadi pada tanggal 8 Mei 1621. Peristiwa tersebut sangatlah mengerikan. Seorang saksi mata Letnan Laut Nicolas van Waert menyaksikan penuh kecemasan dan ketakutan. Ke-44 Orang Kaya tersebut tidak mengucapkan apa-apa sebelum eksekusi kecuali satu orang yang bertanya, ‘Apakah Tuan-tuan tidak merasa berdosa ?’ Dosa. Barangkali kata itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak JP Coen. Yang ia pikirkan adalah kekuasaan. Tidak peduli untuk mencapai itu harus terjadi pertumpahan darah.
Nama-nama Orang Kaya yang dibantai atas perintah JP Coen itu ditulis dalam dokumen sejarah atas laporan JP Coen dalam buku ‘Coen Op Banda’ (Coen di Banda). Selain itu tercatat pula 6.000 orang Banda dibunuh, 789 orang Banda diasingkan secara paksa ke Batavia, 1.700 orang Banda melarikan diri ke Banda Eli, Banda Elat Kepulauan Kei, Seram dan tempat-tempat lain, dan 5 Orang Kaya lolos bersama 300 orang lainnya bertolak dari Pantai Dender dijemput 20 kora-kora dari Seram Timur. Dari 14.000 orang rakyat Banda, setelah peristiwa pembantaian di tahun 1621 ini jumlah penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang. Dengan demikian bisa dikatakan rakyat asli Banda telah ‘habis’. Konon pemusnahan rakyat Banda ini atas perintah tidak resmi dari Heeren XVII pada tahun 1615 yang mengatakan bahwa keberhasilan untuk menjajah Kepulauan Banda dan menguasai rempah di sana adalah dengan menghabiskan atau menghilangkan pimpinan yang dituakan rakyat secara besar-besaran sehingga rakyat yang tertinggal tidak mempunyai pemimpin perlawanan.
Jika di urut, pembantaian ini sebenarnya karena ketidakmampuan bangsa Belanda menjual pala lebih murah dibandingkan dengan Inggris bahkan dengan penduduk lokal pun masih lebih mahal, padahal Belanda sudah mengontrol Maluku selama 20 tahun. Akhirnya para petinggi VOC mencoba membuat program untuk bisa memonopoli perdagangan pala di Pulau Banda. JP Coen kemudian mengambil tugas ini dan beranggapan bahwa hanya dengan mengusir dan melenyapkan penduduk asli pulau Banda, monopoli pala baru bisa dilakukan.
Pertama –tama Coen dan serdadunya memaksa penduduk Banda (dibawah todongan senjata) untuk mau menandatangani kontrak perdagangan pala hanya dengan VOC tidak dengan Inggris. Tidak semua penduduk Banda mau mematuhi perjanjian tersebut, diam-diam mereka juga menjual Pala kepada Inggris dan ditukar dengan senjata, untuk memerangi kesewenang-wenangan VOC. Mereka membuat markas di pegunungan supaya tidak diketahui oleh Coen, saat dia datang ke Banda. Pemboikotan yang dilakukan oleh bangsa Banda ini akhirnya ketahuan juga, dan menyebabkan Coen naik pitam.
Pada tanggal 10 Maret 1621 dengan berkekuatan sebanyak 2000 tentara (sebagian tentara bayaran dari Jepang), Coen memimpin sendiri penyerangan tersebut ke P. Lontor, dari hasil penyerbuan tersebut Coen menangkap sebanyak 800 orang dan dikirim ke Batavia sebagai budak. Sebuah laporan yang diterbitkan setahun kemudian Verhael van eenighe oorlogen in Indië (1622) (Critici van Jan Pieterszoon Coen; Ewald Vanvugt; 1996) seorang saksi mata menjelaskan pada tanggal 8 Mei 1621 di depan Benteng Nassau, sebanyak 44 dakwaan dituduhkan kepada para pemimpin suku Banda, kemudian setelah dakwaan dibacakan delapan pemimpin suku Banda ini kemudian dipancung oleh enam orang tentara bayaran dari Jepang. Kemudian mayatnya dipotong menjadi empat bagian dan dibuang ke empat penjuru. 1)
Menurut salah seorang serdadu VOC yang ikut, Vertoogh. Sekitar 2500 penduduk Banda dibiarkan tewas kelaparan, dan banyak yang tewas terpancung sehingga seandainya kita bisa terbang pasti dapat melihat seluruh pulau penuh dengan mayat. Pembantaian lebih kejam terjadi pada minggu kedua April 1621, hanya dalam waktu satu minggu 1200 – 1300 penduduk Banda tewas dibantai, dan dengan bangga Coen melaporkan kepada Heren XVII “Seluruh orang aborigin dari Banda sudah mati karena perang, kelaparan dan kekurangan. Hanya sedikit yang bisa lolos dan mengungsi ke tempat lain” (Ewald Vanvugt; 1996).
(di rangkum dari berbagai sumber)