“CARI! CARI BAPAK! CARI SAMPAI KETEMU! KEMANA BAPAK? CARI! CARI!”.

Ungkapan Ibu Yayuk Ruliah A.Yani di pagi berdarah 1 Oktober 1965

Sekelumit kisah pagi 1 Oktober 1965 dari Ibu Amelia Yani

Setelah makan malam siap, ibu Yayuk Ruliah A.Yani menenui dan pamit kepada bapak katanya mau ‘nyepi’ di rumah Menpangad, rumah dinas bapak di jalan Taman Suropati 10. Ibu ditemani Tante Tinik, teman akrab ibu sejak kecil, Om Tris adik ibu dan Om Sandi, ajudan rumah tangga kami. Malam itu kami semua tidak ada yang ikut menemani ibu. Karena ibu lebih senang nyepi sendiri, tanpa anak-anak.

Sekitar pulul 22 malam barulah bapak bebas dari tamu. Beberapa saat kemudian setelah makan malam, bapak langsung masuk ke kamar tidurnya. Sementara kami masih duduk-duduk di ruang belakang sambil menunggu kakakku yang tertua, Rulli, pulang dari Bandung. Ia dan teman-temannya sedang mengikuti latihan Resimen Mahajaya di Batujajar.

Ketika ibu pergi nyepi dan bapak masuk kamar, malam itu rumah mendadak sunyi senyap. Apalagi ketika para pengawal dan ajudan bapak pulang ke rumah mereka masing-masing. Sesekali terdengar anjing menyalak dan menggonggong dari kejauhan.
Baru kira-kira pukul 23.00 sampai 24.00 telpon rumah kami terus berdering. Dari kejauhan si penelpon hanya bertanya dimana bapak. Tanpa merasa curiga kami pun beritahu kalau bapak sudah tidur. Malam kian larut. Rasa kantuk mulai menghantui kami. Satu persatu mulai beranjak tidur.

Namun sekitar pukul 04.30 subuh (1 Oktober 1965), kami dikejutkan oleh suara tembakan bertubi-tubi. Terdengar pula hentakan sepatu tentara yang berlarian. Hiruk pikuk sekali. Semua terjadi secara mendadak dan cepat. Hinggar bingar suasana benar-benar membingungkan. Mendengar itu aku beranikan diri mengintip melalui cela pintu kamar. Aku melihat banyak tentara dengan baret merah tua. Aku melihat sesosok tubuh diseret tanpa belas kasihan. Kakinya ditarik oleh dua orang tentara. Tubuhnya diseret menyapu lantai. Ya Alah, itu bapak, kataku spontan. Serta merta aku langsung menghambur ke luar kamar sembari menjerit-jerit, “Bapaaaak…..! Bapak……..!”. Seketika aku dan saudara-saudaraku menangis pedih melihat bapak diperlakukan dengan keji.

Dengan langkah gontai sambil terus menangis, kami mengikuti para tentara yang membunuh bapak sampai ke pintu belakang. Tiba-tiba para tentara itu berbalik dan menghardik, “Kalau anak-anak tidak masuk, akan ditembak juga semuanya”. Kami ketakutan. Kami gemetaran. Kami semua berlari masuk ke dalam rumah. Sedih, marah, takut, bingung bercampur menjadi satu. Kami tak tahu lagi harus berbuat apa. Beberapa saat kemudian kami mendengar suara kendaraan menderu-deru membawa bapak pergi. Saat itu kami tidak tahu kemana bapak dibawa. Namun segumpal darah hangat tertinggal di ruang makan. Pintu kaca berserakan tertembus peluru. Darah tercecer di sepanjang lantai hingga ke jalan raya, bekas bapak diseret dari dalam rumah. Tujuh butir peluru kosong berhamburan di lantai.

Sejurus tanpa diperintah kami berhamburan masuk ke dalam kamar tidur bapak. Kami berebut mengangkat telpon. Namun sayang, ternyata jaringan telepon sudah disabotase. Segera kami meminta Mbok Milah untuk memanggil Om Bardi, ajudan bapak. Sementara kami duduk dilantai mengelilingi darah bapak sambil berharap bapak tidak meninggal. Disaat itu tiba-tiba munculah komandan penjaga yang dilucuti. Ia bingung. Ia kaget. Apalagi ketika dia melihat darah segar tercecer membasahi lantai. Spontan dia bertanya, “Ini Darah Siapa?”. Serempak kami menjawab, “Ini darah bapak”. Mendengar jawaban kami, sang komandan itu tak lagi berkata-kata. Wajahnya kosong menatap darah bapak. Kami benar-benar dicekam rasa takut, marah dan tidak tahu harus berbuat apa.

Pukul 5 pagi, Om Bardi ajudan bapak datang. Serta merta kami semua lari berhamburan kepadanya. Sambil menunjuk gumpalan dan ceceran darah, kami beritahu kalau bapak telah ditembak dan dibawa pergi oleh tentara-tentara berseragam hijau, pakai baret merah, sepatu lars dan banyak kain-kain kecil warna putih, merah, kuning di pundak mereka. Om Bardi kaget. Dahinya mengkerut. Dia seakan berusaha mencari jawaban, kenapa bapak dibunuh.

Sejurus dia mondar-mandir dengan nafas yang tidak menentu. Belum habis dengan Om Bardi, tiba-tiba sebuah jib masuk pekarangan rumah kami, setelah ditengok rupanya jib itu membawa ibu pulang. Begitu masuk rumah ibu kaget lantaran mendapati kami semua sudah bangun. Ibu bertanya, “Ada apa pagi-pagi sudah bangun”. Dengan perasaan galau, kami katakan, “Bu… bapak bu. Bapak ditembak dan dibawa pergi naik truck”. Seketika ibu menjerit-jerit. Ibu histeris. Sambil berlari ke luar rumah ibu meminta, “Cari! Cari bapak! Cari sampai ketemu! Kemana bapak? Cari! Cari!”.

Kami semua tertegun bingung, kacau. Sementara Om Bardi tampak terus mondar-mandir karena bingung tak tahu harus buat apa. Sejurus ibu pingsan dan kami gotong beramai-ramai ke dalam rumah. Ia dibaringkan di kursi biru di ruang makan. Ketika sadar dari pingsannya, ibu mengajak kami untuk berdoa bersama.
Jam 06.00 pagi, Jenderal Umar Wirahadikusuma, Panglima Kodam V Jaya datang dan mendapati ibu terbaring di kamar tidur. Setelah ia pulang para tentara lain berdatangan ke rumah kami. Penjagaan di rumah kami digantikan oleh pasukan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Kami disarankan untuk sementara waktu meninggalkan rumah. Darah bapak mulai dibersihkan, di pel. Saat itu dadaku terasa sesak. Pagi itu baru kami tahu ternyata yang dibunuh dan diculik bukan hanya bapak sendiri, tapi juga para perwira tinggi yang selalu menyebut diri mereka, “Tangan Kanan bapak”.

Kira-kira pukul 09.00 pagi, karangan bunga dari “Bela Flora” datang dengan ucapan, “Selamat Ulang Tahun 1 Oktober 1965” buat ibuku. Ternyata yang mengirimnya adalah bapak sendiri. Bunga itu membuat kedukaan kami semakin mendalam.

Beny Rusmawan….. 1 Oktober 2015 jalan Lembang Jakarta Pusat

SUMBER