Brosur haji Jaman Dulu, Tidak ada Waiting List
Manusia jaman itu yang akan naik haji umumnya (tida semuanya) masih berusia muda, bahkan umur belasan taun. Jadi fisiknya masih kuat untuk berbulan-bulan mengapung di lautan dan samudera. Begitu juga ketika suda sampai di daratan negeri saudi yang suhunya terbilang ekstrim itu ditambah lagi jaman itu pasti fasilitas pemondokan jemaah masih sangat minim. Jadi kalau berangkatnya sudah usia sepuh pasti pisignya kemungkinan tidak kuat.
Oh iya..ada cerita dari kakaknya nenek saya yang dulu di tahun 1930 an juga sudah pergi haji naik kapal laut. Kala itu katanya usianya masih empat belas tahun. Menurut kisahnya dulu lautan di sebelah selatan semenanjung arab–kini di selatan negara Yaman–itu oleh para Jemaah haji nusantara dan juga awak kapalnya disebut sebagai “lautan air mata”. Mengapa bisa begitu? Hal itu karena setelah kurang lebih sebulan perjalanan maka di lautan itu daya tahan pisig jemaah calon haji sudah hampir habis. Beberapa bahkan ada yang meninggal. Di situlah tangis sakit raga dan kesedihan terjadi. Di sisi lain juga menangis bahagia karena menyadari bahwa bila sudah sampai di lautan itu maka berarti sebentar lagi kapal akan sampai, tinggal berbelok ke arah utara memasuki laut merah dan lepas dari hembusan angin samudera hindia serta gejolak ombaknya.
Demikian pula sebaliknya nanti ketika perjalanan pulang. Setelah melewati laut merah yang tenang maka akan segera memasuki perairan samudera hindia. Begitu kapal lepas dari laut merah dan mulai berbelok ke timur–di selatan negri Yaman–maka air mata kembali berderai dan tangis kembali bermunculan. Tangis bahagia karena sudah resmi berhaji sekaligus tangis sakit mabuk laut, tangis doa mohon keselamatan.
Aneh-aneh saja yaaa……