Imran: Komando Jihad
Aku baru saja menamatkan membaca buku lama: IMRAN Dari Hukum sampai Islam. Isinya adalah tentang kompilasi hasil persidangan mulai dakwaan, pledoi sampai putusan vonis mati pelaku pidana subversif tahun 80 an yg terkenal itu. Sayup sayup peristiwa ini dulu pernah hinggap dalam memoriku, yg saat itu masih bercelana pendek biru ke sekolah.
Membaca buku ini membuat anganku mengelana tentang gejolak jiwa muda seorang anak muda 22 tahun yg kabur dari Medan, tahu tahu muncul di Arab Saudi. Kembali ke Indonesia sbg pedagang arloji. Kemudian kerja serabutan dan pernah menjadi kuli di Belawan.
“Imam Im” ini mengaku sebenarnya tak mau tahu Pancasila. Namun terjadinya pembajakan pesawat Woyla, penyerangan Polsekta Cicendo 8606 serta serangkaian teror dan pembunuhan anggota genk nya, telah menghantarkan anak Kota Matsum bekas anggota Pemuda Pancasila (PP) yg semasa mudanya gak pernah sholat dan puasa ini ketiang gantungan atas tuduhan hendak mengganti ideologi Pancasila kepada ideologi Islam menurut tuntunan Al Quran dan Sunnah Rosul.
Terlahir sebagai anak lelaki tertua dari Muhammad Zein Sutan Sinaro pedagang kain di pasar central Medan, Imran yg bernama asli Armon ini terkenal nakal luar biasa dan tukang berkelahi, bahkan sekolahnya hanya sampai kelas III di SMA Priyatna Medan. Namun ekses dari peristiwa penikaman terhadap temannya yg terjadi di Medan pada tahun 1971 sewaktu umurnya baru 21 tahun telah menyadarkan Imran tentang masa depan yg berujung membawanya sampai ke Arab Saudi dengan menumpang kapal haji secara ilegal. Sejak itu cerita berubah, Imran bukan yg dulu lagi.
Saya tidak akan bercerita lebih lanjut bgm kemudian Imran intens melakukan kajian kajian dengan teman jamaahnya yg secara kebetulan saja bertemu disana yg kemudian membentuk jamaah di dan ketika pulang ke Indonesia melanjutkan kembali “perjuangan” jamaahnya untuk memurnikan ajaran Islam menurut Quran dan Hadis yg menurut kaca mata mereka telah cukup melenceng dijalankan oleh pemerintahan Soeharto di Indonesia. Tidak hanya mengecam pemerintahan, jamaah Imran mengecam penataran P-4 dan Pasal 1 Pancasila tentang frase kata “Ketuhanan” yg menurutnya berarti “banyak Tuhan” sebagaimana frasa kata “Kepulauan” yg berarti “banyak pulau”. Tidak hanya mengecam NU dan EZ Muttaqiem ulama panutan NU, Imran pun mengecam habis Hamka bahkan Natsir yg dia tuduh telah “menjual Islam” dengan harga murah karena mau berkompromi menerima penataran P 4 dan Pancasila.
Pasal pidana mati yg dikenakan terhadap Imran ini adalah UU Subversif yakni UU No. 11/PNPS/1963, momok yang paling ditakuti oleh aktivis politik di zaman Orde Baru dulu.
Bogor 25 Mei 2018